KAIDAH FIQH I
AL-YAQIN LA YUZALU BI-SSYAK
Oleh: Imam Syafi’i[1]
Fiqh sebagai manifestasi daripada syari’at haruslah memiliki beberapa kriteria yang salah satunya adalah untuk kemaslahatan umat secara paripurna, prinsip inilah yang menjadi landasan para mijtahid (pemikir Islam) dalam menghasilkan produk pemikiranya untuk membumikan syariat, sehinga segala sesuatu yang mereka hasilkan selalu mendapat sambutan hangat dari masyarakat serta mampu menjadi solusi dari segala permasalahan. Pada awal mulanya Fiqh memiliki konotasi yang tidak hanya terbatas pada pembahasan-pembahasan hukum halal, haram, mubah, wajib, dan sunah, akan tetapi lebih pada aspek pengetahuan keagamaan secara menyeluruh, sebagaimana sabda nabi:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين
(Sunan turmidzy. Hadis no: 2569)
namun dalam perjalanan waktu dan kebutuhan akan klasifikasi ilmu pengetahuan, mengalani reduksi makna yang hanya berkutat dalam pembahasan hukum syari’at atau hukum legal formal, sebenarnya perbedaan arti ini tidak begitu menjadi suatu permasalahan yang begitu serius, karena ada mayoritas Ulama membagi pemahaman atas teks hadis di atas dua bagian yaitu Fiqh akbar (universal) dan Fiqh shoghir (parsial), dan permasalahan yang membahas hukum-hukum di sebut dengan Fiqh shoghir. Sebagai hasil prmikiran daripada syariat Fiqh haruslah bersifat mampu menjadi solusi dari segala permasalahan yang berkembang di masyarakat, artinya produk-produk yang dihasilkanya tidak statis akan tetapi bercorak dinamis dalam mengawal laju perkembangan zaman, oleh karenanya beberapa Ulama mengambil inisiatif untuk mengaplikasikan tujuan di atas dengan menjadikan landasan filosofi daripada rumusan-rumusan Fiqh yang telah ada menjadi suatu kaidah yang mapan yang diprediksi akan mampu menjadi jawaban atas perubahan sosial dan perkembangan zaman, dan mereka menyebutnya dengan kaidah Fiqh. Usaha mereka di mulai dengan mengumpulkan hasil-haasil ijtihad yang masih berserakan di sana-sini, kemudian mereka mengambil esensinya dan didukung oleh beberapa dalil nash (al quran, hadis) sebagai penguat, sehinga kita tidak terlalu khawatir dan curiga lagi bahwa apa yang telah di rumuskan oleh para pemikir Islam akan melenceng dari al quran maupun hadis. Untuk lebih memperdalam pengetahuan kita tentang kaidah Fiqh, penulis akan akan menjabarkan salah satu kaidah dari beberapa Fiqh yang sering digunakan para pemikir Islam dalam merumuskan hukum, yaitu kaidah: (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ) beserta cabang-cabangnya.
BAB II. RUMUSAN MASALAH
Islam sebagai agama tentunya mengharuskan pemeluknya untuk selalu memiliki keyakinan tentang kebenaran ajaran yang dibawanya, karena sebuah keyakinan ibarat tiang penyanga atau penyeimbang dari tegaknya suatu bahtera agama, orang yang tidak memiliki kayakinan dalam beragama akan mudah terombang –ambing dalam lautan ketidakpastian yang pada akhirnya dia akan tengelam ke dasar kesesatan yang nyata, begitu pula dalam ritual keagamaan dan interaksi sosialmya Islam selalu mewajibakan adanya keyakinan sebagai landasan utama, sehinga segala keputusan yang akan diambil menjadi sebuah keputusan yang benar dan jauh dari kesimpang-siuran. Dari pemahaman di atas kita menarik kesimpulan bahwa pemahaman kita terhadap kaidah (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ) beserta cabang-cabang yang ada di dalamnya sangatlah penting. Kaidah ini meliputi pembahasan-pembahasan dalam masalah ubudiyah (ritual) dan muamalah (interaksi sosial). Dengan memahami kaidah ini kita akan mendapatkan banyak sekali manfaat, yang antara lain hilangnya keragu-raguan dalam hati kita atas segala tindakan kita, serta kita akan menyadari bahwa syariat yang duturunkan kepada kita adalah untuk kemaslahatan dan kemudahan serta pembebasan bagi kita dalam mengarungi kehidupan di dunia ini dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat nanti. Pada akhirnya segala sesuatu yang benar dan patut kita yakini dalam tulisan ini adalah atas anugerah semata, dan segala kesalahan-kesalahan yang ada adalah dari kekurangan penulis, sehinga kritik dan saran dari ustadz dan teman-teman mahasiswa akan selalu menjadi harapan penulis.
BAB III. PEMBAHASAN
Kaidah : الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ adalah berdasarkan dalil al quran yang berbunyi:
Bur ßìÎ7Gt óOèdçsYø.r& wÎ) $Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# w ÓÍ_øóã z`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ $yJÎ/ tbqè=yèøÿt
Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran* Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. Q.S. Yunus 36
*sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu yang diperoleh dengan keyakinan.
Dan dari beberapa hadis nabi:
1- إذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا ؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِد حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحً
) رَوَاهُ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ .(.
ketika kalian mendapati sesuatu dalam perut, dan ragu-ragu, “ apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak” maka janganlah kalian keluar dari masjid ( membatalkan sholat) sampai mendengar suara atau membau (sesuatu)
-2عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْن زَيْدٍ قَالَ " شُكِيَ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ { : لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا ، أَوْ يَجِدَ رِي
- 3 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى أَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا ؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ ، وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَن .وَرَوَى مُسْلِم[2]
-4النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاس
al Yakin ditinjau dari etimologimya adalah: ketenangan. sedangkan menurut terminologi Fuqoha adalah: ketenangan hati atas ketetapan sesuatu. syak secara etimologi adalah: ketidakpastian. Sedangkan menurut termonologi Fuqoha adalah: keadaan sesuatu diantara ada dan tiada. Sebagian Ulama membagi kriteria di atas berdasarkan sistematika nilainya:
a. الْيَقِينُ : ketetapan hati yang didasari suatu argumentasi yang absolut
b. الإعتقاد : ketetapan hati yang sebagian didasari atas srgumentasi absolute
c. £`©à9$ا : keungulan sesuatu atas yang lainya
d. الشَّكّ : persamaan sesuatu atas yan lainya
e. الوهم : lemahnya sesuatu atas yang lainnya.[3] Selanjutnya Kaidah ini memiliki beberapa cabang yang antara lain:
1. الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان
2. الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة
3. الْأَصْلُ الْعَدم .
4. الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ
5. مَنْ شَكَّ هَلْ فَعَلَ شَيْئًا أَوَّلًا ؟ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ
A. Uraian Cabang-Cabang Kaidah
1. الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان (asal dari ketetapan sesuatu adalah kembali pada ketetapan semula)
Arti dari kaidah ini adalah, segala ketetapan yang ada pada masa lalu, baik positif atau negatif akan tetap selalu ada selama tidak ada perkara (dalil) yang merubahnya. Kaidah ini adalah pijakan daripada pengembangan kondep istishab. Istishab menurut Fuqoha adalah ketetapan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh agama, seperti tetapnya hak milik seseorang dengan adanya transaksi yang disahkan oleh agama. Istishab menurut Ulama ushul adalah berlakunya hukum yang ada dalam nash (al Quran. Hadis) selama tidak ditemukanya nash yang membatalkanya, definisi ini juga dipakai oleh Fuqoha.[4]
Contoh dari kaidah ini adalah: apabila ada seorang suami yang mengembara dan tidak diketahui keadaanya, apakah dia masih hidup ataukah sudah meningal, maka kalau kita bertendensi pada kaidah ini dia tetap dihukumi masih hidup selama tidak ada bukti kongkrit tentang kematianya. Sehinga sang istri belum diperbolehkan untuk menikah dengan orang lain.
2. الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة (terbebas dari tangungan adalah sebagai patokan)[5]
Dasar dari kaidah ini adalah hadis nabi:
، عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « البينة على المدعي »[6]
Contoh: apabila ada orang menuduh temanya telah mempunyai hutang kepadanya, akan tetapi tuduhan ini tidak disertai dengan bukti, maka berdasarkan kaidah ini tuduhan tersebut tidak bisa diterima.
3. الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَةُ (asal dari perkataan adalah hakikatnya)
Artinya apabila ada ucapan yang belum jelas yang dimaksud, apakah diartikan secara hakikat atau majaz maka harus diartikan secara hakikat.[7]
Contoh: apabila ada orang berkata bahwa ia bersumpah tidak akan membeli di market A, akan tetapi kemudian ia menyuruh temanya untuk membeli di market tersebut maka ia tidak terkena kifarah sumpah.
4. الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ (asal dari segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang melarangnya)
Kaidah ini adalah pendapat dari kebanyakan Ulama,Dasar dari kaidah ini adalah beberspa firman :
uqèd Ï%©!$# Yn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu”.( Q.S. Al baqarah: 29)
ö@è% ô`tB tP§ym spoYÎ «!$# ûÓÉL©9$# ylt÷zr& ¾ÍnÏ$t7ÏèÏ9 ÏM»t6Íh©Ü9$#ur z`ÏB É-øÌh9$# 4 ö@è% }Ïd tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä Îû Ío4quysø9$# $u÷R9$# Zp|ÁÏ9%s{ tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# 3 y7Ï9ºxx. ã@Å_ÁxÿçR ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqçHs>ôèt
Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.( Q.S. Al a’raf: 32)
ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.Îô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ã ¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB w tbqçHs>÷ès?
Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." ( Q.S. Al a’raf: 33)
dan dasar kaidah yang bersumber dari hadis nabi:
قَال: الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ
(Sunan turmudzi hadist no: 1648)
Sedangkan sebagian Ulama ada yang menyatakan kebalikan dari kaidah ini, seperti imam Hanafi dan beberapa ashabnya,[8]yang berbunyi: الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِالتحريم حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى تحليله
Dengan dasar firman : لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ yakni segala sesuatu yang ada di langit dan bumi adalah milik dialah yang berhak atas perintah pengunaanya,[9] kita tidak berhak untuk mengunakanya atau memangfaatkanya sebelum mendapat izin dari pemiliknya.[10]
Contoh: apabila kita menemukan hewan yang belum jelas halal haramnya, maka berdasarkan kaidah pertama hukumnya halal, kalau berdasarkan kaidah kedua hukumnya haram.
5. مَنْ شَكَّ هَلْ فَعَلَ شَيْئًا أَوَّلًا ؟ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْه (siapa saja yang ragu sudah mengerjakan sesuati atau belum, maka pada dasarnya dia belum melakukan)[11]
contoh dari kaidah ini adalah: apabila ada seseorang yang ragu, apakah dia sudah membayar hutang atau belum maka berdasarkan kaidah di atas ia belum melunasi hutangnya.
Dalam kaidah ini ada kaidah lagi yang menjadi penjelas, yaitu:
a. مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَشَكَّ فِي الْقَلِيلِ أَوْ الْكَثِيرِ حُمِلَ عَلَى الْقَلِيلِ لِأَنَّهُ الْمُتَيَقَّنُ
(siapa saja yamg ragu apakah dia melakukan pekerjaan yang banyak atau sedikit, maka pada dasarnya ia telah melakukan yang sedikit karena yang sedikit adalah yang meyakinkan)
Contoh: apabila ada orang yang ragu dalam sholatnya, apakah dia sholat dua rokaat atau tiga rokaat, maka berdasarkan kaidah ini ia masih sholat dua rokaat.
b. kaidah yang bersumber dari as-Syafi’I yang berbunyi: أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِينٍ لَا يَرْتَفِعُ إلَّا بِيَقِينٍ (suatu hal yang sudah terbukti meyakinkan tidak bisa dihilangkan kecuali dengan yang meyakinkan pula)[12]
contoh: apabila ada orang yakin sudah wudu akan tatapi ia ragu sudah batal apa belum, maka ia belum batal.
B. Pengecualian Kaidah (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ)
Dalam pembahasan kaidah inti di atas ada pengecualian dari kaidah tersebut yaitu:
الْيَقِينُ قد يُزَالُ بِالشَّكِّ kaidah ini hanya memasukan beberapa prrmasalahan saja, salah satunya adalah: apabila ada orang akan melakukan solat jum’at dan ia ragu, apakah waktu solat masih ada ataukah telah habis maka berdasar kaidah ini dia harus sholat duhur.
C. Permasalahan Dalam Kaidah Asal
I. Apabila ada pertentangan antara hukum asal dan realita, maka adakalanya yang diungulkan adalah hukum asal dan ada kalanya dhohirnya, melihat faktor pendukungnya . Contoh: pakaian milik orang kafir yang memelihara babi hukumnya adalah suci, apabila kita tidak melihat langsung bahwa baju itu bersentuhan dengan babi secara nyata, walaupun kemungkinan besar terkena najis.
II. Apabila ada dua hukum asal yang bertentangan maka yang faktor pendukungnya lebih kuat yang dimenangkan. Contoh: ada seorang suami yang tidak mengakui anaknya dikarenakan tujuh bulan sebelum anaknya lahir ia mengalami impoten dan ia lupa kapan mengauli istrinya Sedangkan sang istri mengaku ia telah mengaulinya sembilan bulan yang lalu. Maka yang dimenangkan adalah istri karena impoten asalnya adalah tidak impoten.
III. Dhohir terkadang juga terjadi pertentamgan akan tetapi permasalahan ini jarang sekali. Contoh: apabila ada lelaki dan perempuan asing tertangkap basah sedang mesum di hotel dan setelah diintrograsi keduanya mengaku telah menikah siri dan tidak ada orang atau saksi yang menyangkalnya, maka pengakuan mereka bisa di terima.[13]
Setelah kita mengetahui kaidah di atas beserta beberapa cabang-cabang yang ada di dalamnya walaupun tidak secara sempurnya karena penulis hanya mengambil beberapa kaidah saja yang dirasa sangat perlu dan mencakup kaidah-kaidah cabang yang lain, di harapkan pembaca sudah bisa membaca peta dari lima kaidah dasar yang melandasi para pemikir Islam dalam menghasilkan hukum-hukum di masyarakat dan selanjutnya bisa mempernudah kita untuk malangkah dalam pembahasan selanjutnya. Dengan bekal pengetahuan kaidah di atas kita akan banyak sekali mendapatkan kemudahan dalam interaksi sosial di masyarakat karena pembahasan dalam kaidah ini tidak akan pernah kering dan habis oleh perkembangan zaman, ibarat bahan baku mentah bisa kita gunakan menjadi apa saja sesuai dengan inovasi-inovasi yang ada di kapala kita dan selalu bisa memberikan solusi dengan ide-ide cerdas di masyarakat, sehinga kesan Islam sebagai agama yang miskin inovasi atau bahkan anti inovasi dan cenderung kembali ke belakang akan segera sirna dari telinga kita. Karena kalau kita melihat khasanah keilmuan Islam kita akan dapati bahwa Islam menghendaki adanya keserasian,keseimbangan, dan kedinamisan dalam kehidupan masyarakat.
Wu a’lam bi al showab.
_______________________
DAFTAR PUSTAKA
as-Syuyuty Jalaludin. Asbah wa nadhoir , mauqi’ul al islam.cet pertama. Kairo. juz 1
Dr M.sidqy ,Al-wajiz fi idhohi qowaid al-Fiqh al-kulliyah. Almuassas alrisalah 1983 Kairo.
ibn M zarqo Syaikh Ahmad. Sarh al-qowaid al-fiqhiyah. Daar qolam.tt.
Bin Idris Muhammad.. Musnad as-Syafi’i.mauqi jami’ al hadist
bisry M. Adib terj. Faroid al bahiyah. Menara kudus. tt
purna aliyah MHM lirboyo, mengenal rumus dan istilah fuqoha. Darul hukmah.1997. Jombang
bin jariir Muhammad.. Tafsir at-tobary. Muassas ar-risalah 2000. Kairo
KAIDAH FIQH II
AL-QOIDAH AL-KULLIYAH
Oleh: Imam Syafi’i[14]
BAB I PENDAHULUAN
Kaidah fiqh adalah salah satu metode pengambilan hukum yang di rancang sebagai landasan filosofi dari semua rumusan hukum yang di lakukan para ulama’di manapun mereka berada, sehinga setiap ulama’ yang menguasai dan mendalami kaidah-kaidah fiqh akan mendapati kemudahan di dalam menjalani ketentuan-ketentuan yang di tetapkan Alloh di muka bumi ini serta mampu memberikan solusi dan inovasi-inivasi baru bagi masyarakat dalam menjawab setiap perubahan dan tantangan yang ada.
Lantas sudahkah ulama’-ulama’ kita serta para santri -sebagai penerus para ulama’- secara intens mendalami ilmu ini? Kalau jawapanya “ya” lantas mengapa keadaan masyarakat kita masih seperti ini. Penulis pikir pertanyaan ini tidaklah penting untuk dijawab, karena dengan melihat kondisi masyarakat
Sebagai tindak lanjut, penulis akan sedikit memaparkan beberapa kaidah yang sangat penting untuk di fahami. Karena kaidah ini membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan interaksi sosial kemasyarakatan. Kaidah-kaidah tersebut adalah:
v الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبّ
v ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه
v لا حجة مع الإحتمال
v دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه
BAB II PEMBAHASAN
1.Kaidah (" الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ ") “disunahkan keluar dari perbedaan”
a. Uraian Kaidah
Kaidah ini memotivasi umat islam agar selalu menjaga persatuan dan mencari solusi dari setiap perbedaan yang ada, walaupun sebenarnya perbedaan itu adalah sunnatulloh. Kaidah ini juga menekankan kepada kita agar selalu berhati-hati dalam menyikapi segala perbedaan yang ada[15]. pengertian khilaf (perbedaan) adalah ketidaksamaan dalam memahami sesuatu, tetapi masih mengacu pada satu pokok, sebagaimana perbedaan dikalangan pemikir islam.
Berbeda dengan pengertian tanaqudh (pertentangan), yaitu ketidaksamaan pendapat terhadap isi pokok dari suatu permasalahan serta unsur-unsur yang melingkupinya, sebagaimana perbedaan prinsipil antara orang-orang muslim dan non muslim.[16]
b. Dasar Kaidah
Kaidah ini menurut imam suyuty berasal dari firman Alloh:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“ wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan) dosa”.(al hujarat 11)
Dan hadis nabi yang berbunyi:
قَالَ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ( حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ)
Dari pemahaman Hadist yang diriwayatkan dari cucu nabi di atas kita bisa menyadari bahwa dalam diri manusia, sebenarnya memiliki potensi untuk mengetahui atau merasakan hal-hal baik atau buruk. Serta kita diperintahkan untuk mengunakan argumentasi yang meyakinkan dalam setiap keputusan dan tindakan. Sebagaimana kaidah di atas
c. Analisis Kaidah Serta Syarat-Syarat Aplikasinya
Contoh kongkrit dari kaidah ini adalah di sunahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi separo atau keseluruhan.
Dalam mengunakan kaidah di atas ulama’ memberikan beberapa ketentuan, sejauh manakah perbedaan itu bisa dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan kebimbangan dan kerancuan. Adapun syarat-syaratnya adalah:
Ø Pendapat yang lain tidak bisa dipertahankan keabsahanya. Contoh: melakukan sholat witir tiga rokaat, apakah dengan satu kali salam atau dua kali. Dalam permasalahan ini pendapat yang mengatakan satu kali salam tidak bisa dipertahankan, karena sudah jelas bahwa pendapat abu hanifah tentang satu kali salam bertentangan dengan Hadist nabi yang berbunyi:[17]
حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْفَارِسِىُّ حَدَّثَنَا مِقْدَامُ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ وَعَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُوتِرُوا بِثَلاَثٍ وَأَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَلاَ تُشَبِّهُوا بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ».
عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِى حَازِمٍ قَالَ رَأَيْتُ سَعْدًا صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَةً فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِرَكْعَةٍ.
Ø Perbedaan pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shohih atau hasan. Contoh: seperti dalam masalah Imam Hanafi yang melarang mengangkat tangan saat sholat, karena bisa membatalkan sholat. Pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir dan shohih yang berbunyi:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ كُلُّهُمْ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ[18]
“aku melihat Nabi,S.A.W ketika memulai sholat mengangkat kedua tangan sama dengan pundaknya, serta sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau tidak mengangkatnya ketika di antara dua sujud.[19]
Ø Dalil yang di gunakan untuk bisa dikomparasikan harus memeiliki dalil yang sama-sama kuat. Sebagaimana contoh kasus wudhu’ di atas[20]
2. Kaidah (ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه) “Segala ketentuan hukum yang yang tidak sesuai dengan qiyas maka tidak boleh untuk mengunakan qiyas”
a. uraian kaidah.
Segala ketentuan hukum yang telah jelas ada dalam nash tidak boleh dilakukan atau dikatakan qiyas terhadapnya. Qiyas adalah membuat keputusan hukum sebagaimana ketentuan tersurat dalam nash yang jelas, dikarenakan ada kesamaan sebab. Qiyas adalah salah satu dari landasan hukum islam. Adapun syarat daripada qiyas, secara umum adalah, tidak ditemukanya hukum yang jelas dalam nash mengenai suatu permasalahan. Qiyas adalah salah satu dari metode pengambilan hukum, yang hanya boleh dilakukan pada saat-saat dibutuhkan.
Qiyas bukanlah suatu metode yang bersandarkan pada kecenderungan (dhon) yang lemah, akan tetapi qiyas adalah kecenderungan yang telah mencapai klimaksnya serta sebuah pemikiran yang telah matang dan mantap, sehinga pantas untuk di gunakan sebagai sarana pengambilan hukum.[21]
b. Dalil kaidah
Kaidah ini bersumber dari ijma’, ulama bahwa tidak diperkenankan bagi seseorang mengunakan nalarnya ketika permasalahan sudah jelas diterangkan dalam nash. Sebagaimana kaidah (لا مساغ للإجتهاد في مورد التص)
c. Analisis Kaidah
Ketentuan potong tangan bagi orang yang terbukti mencuri, adalah tidak bisa ditawar-tawar lagi, jadi pemenjaraan dan hukuman-hukuman lain tidak bisa dikatakan sebagai qiyas dari potong tangan.
Transaksi sewa menyewa adalah transaksi yang tidak mengunakan barang untuk dimiliki, akan tetapi hanya memangfaatkanya. Transaksi dalam bentuk yang tidak jelas dan abstrak seperti ini dilarang dalam islam. Hukum di perbolehkanya akad ini adalah bertendensi pada kebutuhan mendesak masyarakat, sehinga para ulama’ sepakat memperbolehkan transaksi model ini. Jadi bolehnya transaksi ini tidak di qiyaskan dari dalil jual beli.
3. Kaidah (لا حجة مع الإحتمال) “tidak diterima argumentasi yang bias”
a. Uraian Kaidah
Setiap argumentasi yang belum jelas tidak bisa di pakai sebagai dalil. Dan setiap dalil atau argumentasi haruslah terbebas dari kemungkinan-kemungkinan, yaitu kemungkinan yang timbul dari dalil itu sendiri.
b. Dasar Kaidah
Dasar dari kaidah ini adalah sama dengan dalil kaidah di atas (
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
b. Analisis Kaidah
Apabila ada orang tua yang menderita sakit parah menyerahkah semua hartanya kepada salah satu ahli waris, maka traksaksinya tidak sah kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Hal ini karena dimungkinkan adanya kesengajaan bagi orang tua tersebut untuk memberikan warisanya hanya kepada satu orang saja (hirmanu al warist ila ghoirihi) hal ini tidak di benarkan dalam islam..
Apabila ada salah satu ahli waris yang mengaku memiliki harta yang di hutang orang tuanya yang meningal dan ia tidak mempunyai bukti, maka hal ini tidak dibenarkan, karena ada kemungkinan ia hanya ingin mendapat bagian lebih banyak.[22]
4. Kaidah (دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه) “petunjuk atas hal-hal yang samar adalah sebagaimana adanya”
a. Uraian Kaidah
Maksud dari kaidah ini adalah ketetapan atau keputusan atas suatu yang masih samar disesuaikan dengan argumentasi dilapangan, dan segala hal yang sulit untuk dilihat atau masih samar disebut perkara yang batin. Yang dikkehendaki dengan dalil disini adalah petunjuk.
Kaidah ini menjadi motivasi bagi seseorang untuk berlaku adil dan menjadikan setiap tindakan yang dilakukan harus berdasarkan hal-hal yang rasional
b. Dalil Kaidah
dalil daripada kaidah ini adalah adalah dalil akal, yaitu segala pengetahuan yang di peroleh dari hasil pengamatan empiris tidak akan jauh beda dengan kenyataan yang ada. Sebagaimana firman Alloh yang berbunyi;
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَار
“ambilah I’tibar wahai orang-orang yang mempunyai akal sempurna” ( al hasyr: 2)
kita diperintah untuk selalu I’tibar dari apa yang telah kita fahami dan ketahui, sehingga kita bisa melakukan hipotesa terhadap petunjuk-petunjuk yang terjadi untuk mengambil keputusan.
c. Analisis kaidah
dari pemahaman kaidah di atas kita bisa menconhtohkan sebuah kasus, apabila si A membeli HP pada si B, dan si B menunjukan adanya kekurangan pada HPnya, tapi kemudian si A tetap membelinya (dalil al-batin), maka berpijak dari kaidah ini berarti si A sejutu dengan segala kekurangan yang ada pada HP tersebut walaupun tanpa ucapan yang jelas, dan akad ini di hukumi sah.
Apabila ada seorang karyawan yang tidak konsisten dengan jam kerjanya serta ada indikasi ia tidak membawa kemajuan terhadap perusahaan, bahkan ia terkesan membawa pengaruh buruk terhadap karyawan yang lain. Maka sang majikan boleh memecatnya secara tidak hormat. Karena melihat indikasi-indikasi di atas menunjukan bahwa ia telah menghianati segala amanat yang telah diberikan kepadanya dan kepada sang juragan
Apabila ada seseorang yang membunuh pencuri di rumahnya dikarenakan ia membela diri dari pencuri tersebut yang akan membunuhnya. Berdasarkan kaidah di atas pemilik rumah dibenarkan apabila pencuri tersebut terbukti membawa senjata yang mematikan, namun apabila terbukti bahwa pencuri tersebut tidak membawa apa-apa maka ia terkena hukuman pembunuhan[23]
d. pengecualian kaidah
dikecualikan dari kaidah ini adalah apabila ada seorang wanita yang memasukan putting susunya kemulut bayi yang masih menyusui, dan tidak diketahui apakah ada air susu yang masuk ditelan bayi atau tidak, maka hukumnya adalah bayi tersebut tidak bisa dihukumi muhrim.[24]
BAB III SIMPULAN
Dari sedikit makalah yang saya sampaikan di atas, kiranya dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya:
Kaidah fiqh adalah metode pengambilan hukum yang menekanan adanya prinsip keadilan dan kemaslahatan bagi umat. Akan tetapi kaidah-kaidah tersebut ibarat pisau analisis yang bermata dua, apabila jatuh ditangan yang tidak kreatif dan tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, akan menjadi sesuatu yang kering akan inovasi, atau bahkan menjadi jastifikasi dari pendapat-pendapatnya yang sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan fungsi dari kaidah-kaidah tersebut diperlukan seseorang yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas keilmuan yang dibarengi dengan kemampuan dalam memotret dan menganalisis permasalahan-permasalahan sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain Seorang mujtahid haruslah memiliki kepekaan sosial yang tinggi.
WAllohu a’lam bi as-showaab…………………
___________________
DAFTAR PUSTAKA`
As-Suyuti Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar, ,al-Asybah wa an-Nadzair, alhidayah
az-zarqo Ahmad bin shaikh muhammad. Sarkh a lqowaid al fiqhiyah. Dar al qolam damaskus. tt. Cet 3
al ahdhory Abdurahman. Taqrirat Nadhom sulam al munawwaroq. MHM lirboyo
al ‘ubady.Abdullah bin said Idhohu alqowaid al fiqhiyah. Al hidayah
al-Hajjaj bin Abdulloh muslim. shohih muslim. Hadist no: 568 Dar al fikr bairut 1989 cet 4
Abdul Hamid Hakim. As-sulam. Sa’adiyah putra
[1] Mahasiswa semester V Fak- tarbiyah STAI Ma’had Aly AL HIKAM Malang
[2] Jalaludin as-syuyuty. Asbah wa nadhoir , mauqi’ul al Islam. Kairo. juz 1 hal 90
[3] M.sidqy ,Alwajiz fi idhohi qowaid al-Fiqh al-kulliyah. Almuassas ar-risalah 1983 Kairo. Hal 92
[4] ibid
[5] Syaikh Ahmad ibn M zarqo. Sarh al-Qowaid al-Fiqhiyah. Daar qolam.tt. hal 105
[6] M. Bin Idris as-Syafi’i. Musnad as-Syafi’i.mauqi jami’ al hadist juz 2 hal 307
[7] Drs. M. Adib bisry terj. Faroid al-bahiyah. Menara kudus. Tt hal 12
[8] Ashab adalah kata majemuk yang berarti tumgal, yaitu ulama yang mengikuti imam mujtahud. Lihat: purna alyah MHM lirboyo, mengenal rumus dan istilah fuqoha. Darul hukmah. 1997.Jombang hal 5
[9] M. bin jariir. Tafsir at-tobary. Muassas ar-risalah 2000. Kairo hal
[10] Drs. M. Adib bisry. Log.cit.
[11] Jalaluddin As-Syuyuty op.cit juz 1 hal 99
[12] Ibid.
[13] Drs. M. Adib bisry.op.cit.hal 15
[14] Mahasiswa semester V STAI Ma’had Aly AL HIKAM Malang
[15] Abdul hamid hakim. As-sulam. Sa’adiyah putra
[16] Abdurahman al ahdhory. Taqrirat Nadhom sulam al munawwaroq. MHM lirboyo
[17] Abdullah bin said al ‘ubady. Idhohu alqowaid al- fiqhiyah. Al hidayah
[18] Abdulloh muslim bin hajjaj . shohih muslim.Hadist no: 568 Dar al fikr bairut 1989 cet 4 hal 337
[20] al-Imam Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuti, ,al-Asybah wa an-Nadzair, alhidayah
[21] Ahmad bin shaikh muhammad zorqo. Sarkh alqowaid al fiqhiyah. Dar al qolam damaskus. tt. Cet 3 Hal 152
[22]ibid Hal 362
[23] Ahmad bin shaikh muhammad zorqo. Log.cit. hal 346
[24] Ibid hal 347
Tidak ada komentar:
Posting Komentar