cinta damai........

cinta damai........
jangan lupa berdoa

aku maning

aku maning
sesudah jadi ustadz-X.. hee.....

fotoku

fotoku
sebelum jadi ustadz-X loooo......

fotoku

fotoku
aku pemalu.........

Selasa, 03 Juli 2007

tasawwufffffff.....pex

PEMIKIRAN TASAWUF AL-HALLAJ

Oleh: Imam Syafi’i[1]


Islam sebagai agama atau ajaran yang tidak hanya mengajarkan masalah-masalah ekstrenal dalam membimbing manusia untuk mengetahui jalan hidup yang harus dilalui, tapi juga mengajarkan hal-hal yang bersifat internal dalam sisi-sisi humanis dengan teologi dan implementasinya, telah di interpretasikan oleh pemeluknya dengan berbagai wacana dan pergulatan pemikiran yang sangat beragam.

Dalam khasanah pemikiran Islam muncul berbagai corak pemikiran tentang keIslaman. Sejak timbulnya klasifikasi ilmu pengetahuan dalam tradisi keilmuan Islam mulai abad IV, memunculkan berbagai variasi wacana dan tindakan oleh pemikir-pemikir Islam, mujtahid. Sehinga pada masa awal kemunculanya sering menimbulkan berbagai gesekan dan pertarungan wacana yang tidak sehat, dikarenakan belum terbiasanya masyarakat muslim waktu itu. Masa sebelumnya umat Islam terbiasa dengan kehidupan dan budaya keberagamaan yang paternalistik, tokoh-tokoh yang memang masih memiliki kedekatan keilmuan dengan sumber aslinya atau legislator ajaran (nabi), sehinga keragu-raguan dan probabilitas kesalahan masih bisa ditekan sedemikian rupa dan kemurnian ajaran juga masih bisa terjaga.

Salah satu pemikiran yang paling rawan dalam konflik adalah pemikiran-pemikiran Tasawuf. Setelah abad IV hijriah setelah kemapanan ilmu fiqh dan dalam perkembanganya ada kelompok-kelompok tertentu yang menyalahgunakan hukum legal formal ini, munculah pemikiran-pemikiran Tasawuf yang memiliki corak dan ajaran yang berbeda-beda sebagai counter dari gejala tersebut.

Pembahasan tentang ilmu Tasawuf memang suatu pembahasan yang membutuhkan pendalaman yang lebih cermat dan hati-hati. Ilmu ini berbeda dengan ilmu-ilmu eksak yang lebih menitikberatkan pembahasanya pada hal-hal yang bersifat materi atau fisik, pembahasan Tasawuf adalah pembahasan yang banyak berkutat dengan hal-hal yang metafisik. Sehinga dibutuhkan penguasaan metodologi dan pengalaman langsung untuk memudahkan kita menjelaskan apa yang sebenarnya dialami tokoh-tokohnya saat menuangkan gagasan dan tindakanya sebagai manifestasi keyakinanya.

Dalam makalah simpel ini penulis mecoba menguraikan sedikit tentang pemikiran dan ajaran Tasawuf versi al Hallaj yang sangat kontroversial, wahdatu al wujud. Pembahasan kita meliputi biografi dan corak ajaran beliau. Semoga dari apa yang penulis akan paparkan bisa menambah wawasan kita tentang masalah-masalah spiritual keagamaan. Terutama dalam agama Islam………….amin

BAB II PEMBAHASAN

a. Profil Husain Ibn Mansur al-Hallaj

Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada tanggal 26 Maret 866 M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk Islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.[2]

Bagi sebagian ulama Islam, kematian ini dijustifikasi dengan alasan bid'ah, sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran Al-Haqq adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain. Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut.[3]

Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji dirinya atas berbagai ajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj. Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima semak belukar terbakar” yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa a.s, yang menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syairnya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata 'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir'aun adalah kezaliman."[4]

b. Ajaran al Hallaj

Tasawuf dalam perkembangannya memiliki dua corak yang bisa kita bedakan dari pemikiran-pemikiran dan ritual (suluk) para pendiri atau musyidnya. Corak dari Tasawuf yang pertama adalah corak falsafi, yaitu, pemikiran dan ajaran sufistik yang banyak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran yunani, persia, india serta teologi kristen. Yang dimaksud pengaruh di sini adalah hanya dalam aspek metodologinya saja, tidak sampai ddalam tataran ajaran-ajaranya, walaupun ada sebagian yang diduga memiliki pengaruh dalan ajaran. Corak falsafi lebih banyak mengunakan simbol-simbol khusus atau alegoris yang sulit dipahami orang umum. Salah satu dari tokoh Tasawuf ini adalah Husain ibn Mansur al-Hallaj (w.922 M).[5]

Adapun corak yang kedua adalah Tasawuf sunni, yaitu pemikiran dan ajaran Tasawuf yang lebih mengedepankan dhohir dari al-Qur’an dan Hadist dengan membatasi dan memberikan aturan-aturan yang ketat terhadap pengunaan ma’na-ma’na alegoris, serta menyatukan antara ajaran Islam yang bersifat eksternal dengan ajaran internal. Tokoh dari corak Tasawuf ini seperti abu Hamid al-Ghozali (w.1112 M) dan al-Harist al-Muhasibi (w. 858).[6]

Tahun 913M adalah titik balik bagi jiwa spiritualnya. Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk beberapa kalinya dan terakhir kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya kesadaran tentang Kebenaran atau mencapai tahap wushul.[7] Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang Kebenaran Al-Haqq. Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah Kebenaran" dalam keadaan ekstase.

Perjumpaan ini membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum bukan hanya demi dosa-dosa yang dilakukan setiap muslim, melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.

Inti ajaran Hallaj adalah Hulul yaitu Ketuhanan lahut yang menjelma ke dalam diri insan nasut. Dalam pandangan Hallaj hidup kebatinan insan yang suci akan naik tingkat hidupnya dari satu maqam ke maqam lain. Misalnya: muslim, mu'min, salihin, muqarrabin. Karena manusia adalah tiupan ruh lahut sebagaimana firman allah:

ثُمَّ سَوَّاهُ وَنَفَخَ فِيهِ مِنْ رُوحِهِ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالأبْصَارَ وَالأفْئِدَةَ ……..

Kemudian ia menyempurnakannyaa (penciptaan manusia) dan meniupkan ruhNya, serta mrnjadikan pendengaran, penglihatan, dan perasaan atas kalian…….

Sehingga ketika mencapai tingkat muqarrabin, menurut dia, sampailah di puncak sehingga bersatu dengan Tuhan. Sifat persatuan itu antara lain diibaratkan bagai persatuan khamar dengan air. Konsep ini bermuara pada Ana al-Haqq, karena kebenaran itu salah satu asma Allah SWT. Al-Haqq sendiri dalam ilmu tasawuf berarti Tuhan. Inilah penggalan syairnya:

‘Telah bercampur roh-Mu dan rohku Laksana bercampurnya khamar dengan air yang jernih

Bila menyentuh akan-Mu sesuatu, tersentuhlah Aku Sebab itu, Engkau adalah Aku, dalam segala hal’. [8]

Hulul tak lepas dari konsep Hallaj yang lain, al-haqiqatu al-Muhammadiyah atau Nur Muhammad sebagai asal-usul segala kejadian amal perbuatan dan ilmu pengetahuan, dan dengan seluruh perantaraaNyalah seluruh alam ini dijadikan. Dia juga menyodorkan konsep tentang kesatuan segala agama.

Ajaran-ajaran Hallaj sangat berpengaruh terhadap tasawuf dan para sufi yang hadir berikutnya. Susahlah untuk memisahkan ajaran tasawuf sesudah Hallaj daripada faham wihdatul wujud (pantheisme). Hallaj pun disebutnya telah memuluskan jalan bagi kedatangan Ibnu 'Arabi sang pengusung ajaran wihdatul wujud, Ibnu Faridh, Jalaluddin Rumi, Al-Jami, Suhrawardy, dan Ibnu Sab'in.

Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama. Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam. Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.[9]

d. Kontroversi Pemikiran al Hallaj

Di dunia sufisme, Husin Ibnu Mansur Al-Hallaj adalah fenomena tersendiri. Perjalanan hidupnya seperti Imam Al-Ghazali, sang hujjatul Islam itu, penuh warna, mengalami pelbagai gejolak dan perubahan, serta dinamik secara intelektual. Ana al-Haqq, Akulah Kebenaran, adalah label munajat utama spiritual Al-Hallaj. Ekspresi personal yang tegas, tanpa ambiguitas dan apologi itu, membuahkan kutukan atas dirinya sekaligus menumbuhkan kejayaan kesyahidannya. Al-Hallaj memang cermin perjuangan hebat ulama tasawuf menghadapi ulama fikih. Berbagai kontroversi mengiringi perjalanan hayatnya.

Pengembaraan panjang membentuk pribadi dan pandangan hidup Hallaj. Pada usia 53 tahun namanya pun menjadi buah bibir di kalangan ulama fikih. Mereka menilai sesat pandangan tasawuf Hallaj. Penguasa saat itu pun memandang ajaran Hallaj membahayakan ketenteraman umum. Ulama fikih terkenal, Ibnu Daud Al-Isfahani, lalu mengeluarkan fatwa untuk membantah dan menolak ajaran-ajaran Hallaj.

Pada akhirnya Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama itu ia terjebak dalam sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya. Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah. Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin, sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Seorang sufi agung muncul pada pertengahan abad XI, yakni Abu Hamid Al-Ghazali (450-550 H). Dengan kecerdasan dan jiwa besarnya, Hujjatul Islam Al-Ghazali mampu mempertemukan kembali ilmu lahir dengan ilmu batin, fikih dengan tasawuf, dan juga filsafat. Dia hidup pada zaman Nizamul Mulk, Wazir Besar Kerajaan Bani Saljuk, yang mendirikan sekolah-sekolah tinggi untuk memperdalam penyelidkan agama dan perkembangannya. Dr Zwemmer, pakar penelitian Protestan, memuji tinggi Ghazali. Katanya: setelah Nabi Muhammad SAW datanglah dua orang besar untuk menyempurnakan agamanya. Pertama, Imam Bukhari yang mengumpulkan Hadisnya dan kedua Al Ghazali yang menguraikan fahamnya.[10]

BAB III SIMPULAN

Dewasa ini, ilmu tasawuf kian digemari. Praktik sufisme yang dalam sejarahnya pernah dihujat lantaran terlalu mengagungkan sang mursyid atau syekh tarekat, kini marak di berbagai tempat. Di masa lalu itu, perilaku tasawuf bahkan sering dinilai bid'ah karena tak bersandar pada al-Quran dan Hadist secara tesktual.

Sebagai ajaran yang menekankan aspek batin tentunya untuk saat ini sangat di perlukan, karena inti dari ajaran tasawuf adalah membebaskan manusia dari nafsu, sikap egoisme serta hedonisme dan sexualisentris, yang sekarang banyak melanda masyarakat kita, akibat dari efek sekularisme.

Ajaran al hallaj yang lebih menekankan aspek esoteris, adalah sebagai tahapan awal dari jalan seorang sufi yang secara idealnya tidak di konsumsi secara mentah-mentah. Ajaran ini memang sangat perlu untuk di pelajari bagi mereka yang yang telah menguasai beberapa keilmuan sastra arab untuk meningkatkan batiniyah, Karena Ungkapan-ungkapan yang digunakan lebih banyak mengunakan kata-kata esoteris.[11]

Sebagai penutup, tentunya untuk saat ini kita harus lebih berhati-hati dalam melakukan penilaian terhadap suatu pemikiran dalam tasawuf, menjauhkan diri dari penilaian terhadap hal-hal yang tidak kita pelajari secara mendalam, adalah salah satu sifat orang yang cerdas.



[1] Mahasiswa semester V STAI Ma’had Aly ALHIKAM Malang

[2] ibid

[3]abu Hamid al-Ghozali op.cit. Hal 302

[4] Sayyid husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. Warisan sufi terj tim tim pustaka sufi jogjakarta cet.1 2003 hal 161

[5]abu Hamid al-Ghozali. catatan pingir ihya ulumu ad-Din oleh zabadi tobanah juz 2 alhidayah surabaya tt. Hal 257

[6] Ensiklopedi tematis dunia Islam ”pemikiran dan peradapan. PT ihtiar baru van hoeve.tt hal 152

[7] M. luqman hakim terj roudhotu at-tholibin wa umdatu as-sholihin. Risalah gusti surabaya 1997 cet.3 Hal 32

[8] Sayyid husain. William c. chittick. Leonard lewisohn. op.cit. Hal 466

[9] Ibid. Hal 302

[10] M. luqman hakim op.cit hal 55

[11] M.luqman hakim & abu ahmad najih. terj. Majmuatu ar-rosul lil ghozaly. Risalah gusti 1996 cet.1 hal 120

kajian kaidah fiqh

KAIDAH FIQH I

AL-YAQIN LA YUZALU BI-SSYAK

Oleh: Imam Syafi’i[1]


Fiqh sebagai manifestasi daripada syari’at haruslah memiliki beberapa kriteria yang salah satunya adalah untuk kemaslahatan umat secara paripurna, prinsip inilah yang menjadi landasan para mijtahid (pemikir Islam) dalam menghasilkan produk pemikiranya untuk membumikan syariat, sehinga segala sesuatu yang mereka hasilkan selalu mendapat sambutan hangat dari masyarakat serta mampu menjadi solusi dari segala permasalahan. Pada awal mulanya Fiqh memiliki konotasi yang tidak hanya terbatas pada pembahasan-pembahasan hukum halal, haram, mubah, wajib, dan sunah, akan tetapi lebih pada aspek pengetahuan keagamaan secara menyeluruh, sebagaimana sabda nabi:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّين

(Sunan turmidzy. Hadis no: 2569)

namun dalam perjalanan waktu dan kebutuhan akan klasifikasi ilmu pengetahuan, mengalani reduksi makna yang hanya berkutat dalam pembahasan hukum syari’at atau hukum legal formal, sebenarnya perbedaan arti ini tidak begitu menjadi suatu permasalahan yang begitu serius, karena ada mayoritas Ulama membagi pemahaman atas teks hadis di atas dua bagian yaitu Fiqh akbar (universal) dan Fiqh shoghir (parsial), dan permasalahan yang membahas hukum-hukum di sebut dengan Fiqh shoghir. Sebagai hasil prmikiran daripada syariat Fiqh haruslah bersifat mampu menjadi solusi dari segala permasalahan yang berkembang di masyarakat, artinya produk-produk yang dihasilkanya tidak statis akan tetapi bercorak dinamis dalam mengawal laju perkembangan zaman, oleh karenanya beberapa Ulama mengambil inisiatif untuk mengaplikasikan tujuan di atas dengan menjadikan landasan filosofi daripada rumusan-rumusan Fiqh yang telah ada menjadi suatu kaidah yang mapan yang diprediksi akan mampu menjadi jawaban atas perubahan sosial dan perkembangan zaman, dan mereka menyebutnya dengan kaidah Fiqh. Usaha mereka di mulai dengan mengumpulkan hasil-haasil ijtihad yang masih berserakan di sana-sini, kemudian mereka mengambil esensinya dan didukung oleh beberapa dalil nash (al quran, hadis) sebagai penguat, sehinga kita tidak terlalu khawatir dan curiga lagi bahwa apa yang telah di rumuskan oleh para pemikir Islam akan melenceng dari al quran maupun hadis. Untuk lebih memperdalam pengetahuan kita tentang kaidah Fiqh, penulis akan akan menjabarkan salah satu kaidah dari beberapa Fiqh yang sering digunakan para pemikir Islam dalam merumuskan hukum, yaitu kaidah: (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ) beserta cabang-cabangnya.

BAB II. RUMUSAN MASALAH

Islam sebagai agama tentunya mengharuskan pemeluknya untuk selalu memiliki keyakinan tentang kebenaran ajaran yang dibawanya, karena sebuah keyakinan ibarat tiang penyanga atau penyeimbang dari tegaknya suatu bahtera agama, orang yang tidak memiliki kayakinan dalam beragama akan mudah terombang –ambing dalam lautan ketidakpastian yang pada akhirnya dia akan tengelam ke dasar kesesatan yang nyata, begitu pula dalam ritual keagamaan dan interaksi sosialmya Islam selalu mewajibakan adanya keyakinan sebagai landasan utama, sehinga segala keputusan yang akan diambil menjadi sebuah keputusan yang benar dan jauh dari kesimpang-siuran. Dari pemahaman di atas kita menarik kesimpulan bahwa pemahaman kita terhadap kaidah (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ) beserta cabang-cabang yang ada di dalamnya sangatlah penting. Kaidah ini meliputi pembahasan-pembahasan dalam masalah ubudiyah (ritual) dan muamalah (interaksi sosial). Dengan memahami kaidah ini kita akan mendapatkan banyak sekali manfaat, yang antara lain hilangnya keragu-raguan dalam hati kita atas segala tindakan kita, serta kita akan menyadari bahwa syariat yang duturunkan kepada kita adalah untuk kemaslahatan dan kemudahan serta pembebasan bagi kita dalam mengarungi kehidupan di dunia ini dan mendapatkan kebahagiaan di akhirat nanti. Pada akhirnya segala sesuatu yang benar dan patut kita yakini dalam tulisan ini adalah atas anugerah semata, dan segala kesalahan-kesalahan yang ada adalah dari kekurangan penulis, sehinga kritik dan saran dari ustadz dan teman-teman mahasiswa akan selalu menjadi harapan penulis.

BAB III. PEMBAHASAN

Kaidah : الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ adalah berdasarkan dalil al quran yang berbunyi:

Bur ßìÎ7­Gtƒ óOèdçŽsYø.r& žwÎ) $Zsß 4 ¨bÎ) £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $º«øx© 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ $yJÎ/ tbqè=yèøÿtƒ

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran* Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan. Q.S. Yunus 36

*sesuatu yang diperoleh dengan prasangkaan sama sekali tidak bisa mengantikan sesuatu yang diperoleh dengan keyakinan.

Dan dari beberapa hadis nabi:

1- إذَا وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئًا فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ ، أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْءٌ أَمْ لَا ؟ فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِد حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ رِيحً

) رَوَاهُ مُسْلِمٌ مِنْ حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ .(.


ketika kalian mendapati sesuatu dalam perut, dan ragu-ragu, “ apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak” maka janganlah kalian keluar dari masjid ( membatalkan sholat) sampai mendengar suara atau membau (sesuatu)

-2عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْن زَيْدٍ قَالَ " شُكِيَ إلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلُ يُخَيَّلُ إلَيْهِ أَنَّهُ يَجِدُ الشَّيْءَ فِي الصَّلَاةِ قَالَ { : لَا يَنْصَرِفْ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا ، أَوْ يَجِدَ رِي

- 3 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ { إذَا شَكَّ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ ، فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى أَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا ؟ فَلْيَطْرَحْ الشَّكَّ ، وَلْيَبْنِ عَلَى مَا اسْتَيْقَن .وَرَوَى مُسْلِم[2]

-4النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشَبَّهَاتٌ لَا يَعْلَمُهَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاس

al Yakin ditinjau dari etimologimya adalah: ketenangan. sedangkan menurut terminologi Fuqoha adalah: ketenangan hati atas ketetapan sesuatu. syak secara etimologi adalah: ketidakpastian. Sedangkan menurut termonologi Fuqoha adalah: keadaan sesuatu diantara ada dan tiada. Sebagian Ulama membagi kriteria di atas berdasarkan sistematika nilainya:

a. الْيَقِينُ : ketetapan hati yang didasari suatu argumentasi yang absolut

b. الإعتقاد : ketetapan hati yang sebagian didasari atas srgumentasi absolute

c. £`©à9$ا : keungulan sesuatu atas yang lainya

d. الشَّكّ : persamaan sesuatu atas yan lainya

e. الوهم : lemahnya sesuatu atas yang lainnya.[3] Selanjutnya Kaidah ini memiliki beberapa cabang yang antara lain:

1. الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان

2. الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة

3. الْأَصْلُ الْعَدم .

4. الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ

5. مَنْ شَكَّ هَلْ فَعَلَ شَيْئًا أَوَّلًا ؟ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْهُ

A. Uraian Cabang-Cabang Kaidah

1. الْأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَان (asal dari ketetapan sesuatu adalah kembali pada ketetapan semula)

Arti dari kaidah ini adalah, segala ketetapan yang ada pada masa lalu, baik positif atau negatif akan tetap selalu ada selama tidak ada perkara (dalil) yang merubahnya. Kaidah ini adalah pijakan daripada pengembangan kondep istishab. Istishab menurut Fuqoha adalah ketetapan suatu hukum yang telah ditetapkan oleh agama, seperti tetapnya hak milik seseorang dengan adanya transaksi yang disahkan oleh agama. Istishab menurut Ulama ushul adalah berlakunya hukum yang ada dalam nash (al Quran. Hadis) selama tidak ditemukanya nash yang membatalkanya, definisi ini juga dipakai oleh Fuqoha.[4]

Contoh dari kaidah ini adalah: apabila ada seorang suami yang mengembara dan tidak diketahui keadaanya, apakah dia masih hidup ataukah sudah meningal, maka kalau kita bertendensi pada kaidah ini dia tetap dihukumi masih hidup selama tidak ada bukti kongkrit tentang kematianya. Sehinga sang istri belum diperbolehkan untuk menikah dengan orang lain.

2. الْأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّة (terbebas dari tangungan adalah sebagai patokan)[5]

Dasar dari kaidah ini adalah hadis nabi:

، عن ابن عباس رضي الله عنهما أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « البينة على المدعي »[6]

Contoh: apabila ada orang menuduh temanya telah mempunyai hutang kepadanya, akan tetapi tuduhan ini tidak disertai dengan bukti, maka berdasarkan kaidah ini tuduhan tersebut tidak bisa diterima.

3. الْأَصْلُ فِي الْكَلَامِ الْحَقِيقَةُ (asal dari perkataan adalah hakikatnya)

Artinya apabila ada ucapan yang belum jelas yang dimaksud, apakah diartikan secara hakikat atau majaz maka harus diartikan secara hakikat.[7]

Contoh: apabila ada orang berkata bahwa ia bersumpah tidak akan membeli di market A, akan tetapi kemudian ia menyuruh temanya untuk membeli di market tersebut maka ia tidak terkena kifarah sumpah.

4. الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِ الْإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى التَّحْرِيمِ (asal dari segala sesuatu adalah mubah, selama tidak ada dalil yang melarangnya)

Kaidah ini adalah pendapat dari kebanyakan Ulama,Dasar dari kaidah ini adalah beberspa firman :

uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu”.( Q.S. Al baqarah: 29)

ö@è% ô`tB tP§ym spoYƒÎ «!$# ûÓÉL©9$# ylt÷zr& ¾ÍnÏŠ$t7ÏèÏ9 ÏM»t6Íh©Ü9$#ur z`ÏB É-øÌh9$# 4 ö@è% }Ïd tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä Îû Ío4quŠysø9$# $u÷R9$# Zp|ÁÏ9%s{ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 y7Ï9ºxx. ã@Å_ÁxÿçR ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqçHs>ôètƒ

Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang Telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat." Demikianlah kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang Mengetahui.( Q.S. Al a’raf: 32)

ö@è% $yJ¯RÎ) tP§ym }În/u |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $pk÷]ÏB $tBur z`sÜt/ zNøOM}$#ur zÓøöt7ø9$#ur ÎŽötóÎ/ Èd,yÛø9$# br&ur (#qä.ÎŽô³è@ «!$$Î/ $tB óOs9 öAÍit\ム¾ÏmÎ/ $YZ»sÜù=ß br&ur (#qä9qà)s? n?tã «!$# $tB Ÿw tbqçHs>÷ès?

Katakanlah: "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui." ( Q.S. Al a’raf: 33)

dan dasar kaidah yang bersumber dari hadis nabi:

قَال: الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ

(Sunan turmudzi hadist no: 1648)

Sedangkan sebagian Ulama ada yang menyatakan kebalikan dari kaidah ini, seperti imam Hanafi dan beberapa ashabnya,[8]yang berbunyi: الْأَصْلُ فِي الْأَشْيَاءِالتحريم حَتَّى يَدُلُّ الدَّلِيلُ عَلَى تحليله

Dengan dasar firman : لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الأرْضِ yakni segala sesuatu yang ada di langit dan bumi adalah milik dialah yang berhak atas perintah pengunaanya,[9] kita tidak berhak untuk mengunakanya atau memangfaatkanya sebelum mendapat izin dari pemiliknya.[10]

Contoh: apabila kita menemukan hewan yang belum jelas halal haramnya, maka berdasarkan kaidah pertama hukumnya halal, kalau berdasarkan kaidah kedua hukumnya haram.

5. مَنْ شَكَّ هَلْ فَعَلَ شَيْئًا أَوَّلًا ؟ فَالْأَصْلُ أَنَّهُ لَمْ يَفْعَلْه (siapa saja yang ragu sudah mengerjakan sesuati atau belum, maka pada dasarnya dia belum melakukan)[11]

contoh dari kaidah ini adalah: apabila ada seseorang yang ragu, apakah dia sudah membayar hutang atau belum maka berdasarkan kaidah di atas ia belum melunasi hutangnya.

Dalam kaidah ini ada kaidah lagi yang menjadi penjelas, yaitu:

a. مَنْ تَيَقَّنَ الْفِعْلَ وَشَكَّ فِي الْقَلِيلِ أَوْ الْكَثِيرِ حُمِلَ عَلَى الْقَلِيلِ لِأَنَّهُ الْمُتَيَقَّنُ

(siapa saja yamg ragu apakah dia melakukan pekerjaan yang banyak atau sedikit, maka pada dasarnya ia telah melakukan yang sedikit karena yang sedikit adalah yang meyakinkan)

Contoh: apabila ada orang yang ragu dalam sholatnya, apakah dia sholat dua rokaat atau tiga rokaat, maka berdasarkan kaidah ini ia masih sholat dua rokaat.

b. kaidah yang bersumber dari as-Syafi’I yang berbunyi: أَنَّ مَا ثَبَتَ بِيَقِينٍ لَا يَرْتَفِعُ إلَّا بِيَقِينٍ (suatu hal yang sudah terbukti meyakinkan tidak bisa dihilangkan kecuali dengan yang meyakinkan pula)[12]

contoh: apabila ada orang yakin sudah wudu akan tatapi ia ragu sudah batal apa belum, maka ia belum batal.

B. Pengecualian Kaidah (الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ)

Dalam pembahasan kaidah inti di atas ada pengecualian dari kaidah tersebut yaitu:

الْيَقِينُ قد يُزَالُ بِالشَّكِّ kaidah ini hanya memasukan beberapa prrmasalahan saja, salah satunya adalah: apabila ada orang akan melakukan solat jum’at dan ia ragu, apakah waktu solat masih ada ataukah telah habis maka berdasar kaidah ini dia harus sholat duhur.

C. Permasalahan Dalam Kaidah Asal

I. Apabila ada pertentangan antara hukum asal dan realita, maka adakalanya yang diungulkan adalah hukum asal dan ada kalanya dhohirnya, melihat faktor pendukungnya . Contoh: pakaian milik orang kafir yang memelihara babi hukumnya adalah suci, apabila kita tidak melihat langsung bahwa baju itu bersentuhan dengan babi secara nyata, walaupun kemungkinan besar terkena najis.

II. Apabila ada dua hukum asal yang bertentangan maka yang faktor pendukungnya lebih kuat yang dimenangkan. Contoh: ada seorang suami yang tidak mengakui anaknya dikarenakan tujuh bulan sebelum anaknya lahir ia mengalami impoten dan ia lupa kapan mengauli istrinya Sedangkan sang istri mengaku ia telah mengaulinya sembilan bulan yang lalu. Maka yang dimenangkan adalah istri karena impoten asalnya adalah tidak impoten.

III. Dhohir terkadang juga terjadi pertentamgan akan tetapi permasalahan ini jarang sekali. Contoh: apabila ada lelaki dan perempuan asing tertangkap basah sedang mesum di hotel dan setelah diintrograsi keduanya mengaku telah menikah siri dan tidak ada orang atau saksi yang menyangkalnya, maka pengakuan mereka bisa di terima.[13]


Setelah kita mengetahui kaidah di atas beserta beberapa cabang-cabang yang ada di dalamnya walaupun tidak secara sempurnya karena penulis hanya mengambil beberapa kaidah saja yang dirasa sangat perlu dan mencakup kaidah-kaidah cabang yang lain, di harapkan pembaca sudah bisa membaca peta dari lima kaidah dasar yang melandasi para pemikir Islam dalam menghasilkan hukum-hukum di masyarakat dan selanjutnya bisa mempernudah kita untuk malangkah dalam pembahasan selanjutnya. Dengan bekal pengetahuan kaidah di atas kita akan banyak sekali mendapatkan kemudahan dalam interaksi sosial di masyarakat karena pembahasan dalam kaidah ini tidak akan pernah kering dan habis oleh perkembangan zaman, ibarat bahan baku mentah bisa kita gunakan menjadi apa saja sesuai dengan inovasi-inovasi yang ada di kapala kita dan selalu bisa memberikan solusi dengan ide-ide cerdas di masyarakat, sehinga kesan Islam sebagai agama yang miskin inovasi atau bahkan anti inovasi dan cenderung kembali ke belakang akan segera sirna dari telinga kita. Karena kalau kita melihat khasanah keilmuan Islam kita akan dapati bahwa Islam menghendaki adanya keserasian,keseimbangan, dan kedinamisan dalam kehidupan masyarakat.

Wu a’lam bi al showab.

_______________________

DAFTAR PUSTAKA

as-Syuyuty Jalaludin. Asbah wa nadhoir , mauqi’ul al islam.cet pertama. Kairo. juz 1

Dr M.sidqy ,Al-wajiz fi idhohi qowaid al-Fiqh al-kulliyah. Almuassas alrisalah 1983 Kairo.

ibn M zarqo Syaikh Ahmad. Sarh al-qowaid al-fiqhiyah. Daar qolam.tt.

Bin Idris Muhammad.. Musnad as-Syafi’i.mauqi jami’ al hadist Cairo juz 2

bisry M. Adib terj. Faroid al bahiyah. Menara kudus. tt

purna aliyah MHM lirboyo, mengenal rumus dan istilah fuqoha. Darul hukmah.1997. Jombang

bin jariir Muhammad.. Tafsir at-tobary. Muassas ar-risalah 2000. Kairo

KAIDAH FIQH II

AL-QOIDAH AL-KULLIYAH

Oleh: Imam Syafi’i[14]

BAB I PENDAHULUAN

Kaidah fiqh adalah salah satu metode pengambilan hukum yang di rancang sebagai landasan filosofi dari semua rumusan hukum yang di lakukan para ulama’di manapun mereka berada, sehinga setiap ulama’ yang menguasai dan mendalami kaidah-kaidah fiqh akan mendapati kemudahan di dalam menjalani ketentuan-ketentuan yang di tetapkan Alloh di muka bumi ini serta mampu memberikan solusi dan inovasi-inivasi baru bagi masyarakat dalam menjawab setiap perubahan dan tantangan yang ada.

Lantas sudahkah ulama’-ulama’ kita serta para santri -sebagai penerus para ulama’- secara intens mendalami ilmu ini? Kalau jawapanya “ya” lantas mengapa keadaan masyarakat kita masih seperti ini. Penulis pikir pertanyaan ini tidaklah penting untuk dijawab, karena dengan melihat kondisi masyarakat indonesia saat ini kita bisa menyimpulkan sendiri jawabanya, akan tetapi yang sangat diperlukan saat ini adalah adanya tindakan konkrit bagi para ulama’ serta kita sebagai santri sebagai penangung jawab dari kontrol moral masyarakat, untuk melakukan sebuah gerakan bermazdhab secara manhaji. Salah satu langkah awal dari keseriusan kita dalam permasalahan ini adalah dengan mendalami kaidah fiqh

Sebagai tindak lanjut, penulis akan sedikit memaparkan beberapa kaidah yang sangat penting untuk di fahami. Karena kaidah ini membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan interaksi sosial kemasyarakatan. Kaidah-kaidah tersebut adalah:

v الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبّ

v ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه

v لا حجة مع الإحتمال

v دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه

BAB II PEMBAHASAN

1.Kaidah (" الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ ") disunahkan keluar dari perbedaan”

a. Uraian Kaidah

Kaidah ini memotivasi umat islam agar selalu menjaga persatuan dan mencari solusi dari setiap perbedaan yang ada, walaupun sebenarnya perbedaan itu adalah sunnatulloh. Kaidah ini juga menekankan kepada kita agar selalu berhati-hati dalam menyikapi segala perbedaan yang ada[15]. pengertian khilaf (perbedaan) adalah ketidaksamaan dalam memahami sesuatu, tetapi masih mengacu pada satu pokok, sebagaimana perbedaan dikalangan pemikir islam.

Berbeda dengan pengertian tanaqudh (pertentangan), yaitu ketidaksamaan pendapat terhadap isi pokok dari suatu permasalahan serta unsur-unsur yang melingkupinya, sebagaimana perbedaan prinsipil antara orang-orang muslim dan non muslim.[16]

b. Dasar Kaidah

Kaidah ini menurut imam suyuty berasal dari firman Alloh:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ

“ wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan) dosa”.(al hujarat 11)

Dan hadis nabi yang berbunyi:

قَالَ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ( حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ)

Dari pemahaman Hadist yang diriwayatkan dari cucu nabi di atas kita bisa menyadari bahwa dalam diri manusia, sebenarnya memiliki potensi untuk mengetahui atau merasakan hal-hal baik atau buruk. Serta kita diperintahkan untuk mengunakan argumentasi yang meyakinkan dalam setiap keputusan dan tindakan. Sebagaimana kaidah di atas

c. Analisis Kaidah Serta Syarat-Syarat Aplikasinya

Contoh kongkrit dari kaidah ini adalah di sunahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi separo atau keseluruhan.

Dalam mengunakan kaidah di atas ulama’ memberikan beberapa ketentuan, sejauh manakah perbedaan itu bisa dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan kebimbangan dan kerancuan. Adapun syarat-syaratnya adalah:

Ø Pendapat yang lain tidak bisa dipertahankan keabsahanya. Contoh: melakukan sholat witir tiga rokaat, apakah dengan satu kali salam atau dua kali. Dalam permasalahan ini pendapat yang mengatakan satu kali salam tidak bisa dipertahankan, karena sudah jelas bahwa pendapat abu hanifah tentang satu kali salam bertentangan dengan Hadist nabi yang berbunyi:[17]

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْفَارِسِىُّ حَدَّثَنَا مِقْدَامُ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ وَعَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُوتِرُوا بِثَلاَثٍ وَأَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَلاَ تُشَبِّهُوا بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ».

عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِى حَازِمٍ قَالَ رَأَيْتُ سَعْدًا صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَةً فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِرَكْعَةٍ.

Ø Perbedaan pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shohih atau hasan. Contoh: seperti dalam masalah Imam Hanafi yang melarang mengangkat tangan saat sholat, karena bisa membatalkan sholat. Pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir dan shohih yang berbunyi:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ كُلُّهُمْ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ[18]

“aku melihat Nabi,S.A.W ketika memulai sholat mengangkat kedua tangan sama dengan pundaknya, serta sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau tidak mengangkatnya ketika di antara dua sujud.[19]

Ø Dalil yang di gunakan untuk bisa dikomparasikan harus memeiliki dalil yang sama-sama kuat. Sebagaimana contoh kasus wudhu’ di atas[20]

2. Kaidah (ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه)Segala ketentuan hukum yang yang tidak sesuai dengan qiyas maka tidak boleh untuk mengunakan qiyas”

a. uraian kaidah.

Segala ketentuan hukum yang telah jelas ada dalam nash tidak boleh dilakukan atau dikatakan qiyas terhadapnya. Qiyas adalah membuat keputusan hukum sebagaimana ketentuan tersurat dalam nash yang jelas, dikarenakan ada kesamaan sebab. Qiyas adalah salah satu dari landasan hukum islam. Adapun syarat daripada qiyas, secara umum adalah, tidak ditemukanya hukum yang jelas dalam nash mengenai suatu permasalahan. Qiyas adalah salah satu dari metode pengambilan hukum, yang hanya boleh dilakukan pada saat-saat dibutuhkan.

Qiyas bukanlah suatu metode yang bersandarkan pada kecenderungan (dhon) yang lemah, akan tetapi qiyas adalah kecenderungan yang telah mencapai klimaksnya serta sebuah pemikiran yang telah matang dan mantap, sehinga pantas untuk di gunakan sebagai sarana pengambilan hukum.[21]

b. Dalil kaidah

Kaidah ini bersumber dari ijma’, ulama bahwa tidak diperkenankan bagi seseorang mengunakan nalarnya ketika permasalahan sudah jelas diterangkan dalam nash. Sebagaimana kaidah (لا مساغ للإجتهاد في مورد التص)

c. Analisis Kaidah

Ketentuan potong tangan bagi orang yang terbukti mencuri, adalah tidak bisa ditawar-tawar lagi, jadi pemenjaraan dan hukuman-hukuman lain tidak bisa dikatakan sebagai qiyas dari potong tangan.

Transaksi sewa menyewa adalah transaksi yang tidak mengunakan barang untuk dimiliki, akan tetapi hanya memangfaatkanya. Transaksi dalam bentuk yang tidak jelas dan abstrak seperti ini dilarang dalam islam. Hukum di perbolehkanya akad ini adalah bertendensi pada kebutuhan mendesak masyarakat, sehinga para ulama’ sepakat memperbolehkan transaksi model ini. Jadi bolehnya transaksi ini tidak di qiyaskan dari dalil jual beli.

3. Kaidah (لا حجة مع الإحتمال) “tidak diterima argumentasi yang bias”

a. Uraian Kaidah

Setiap argumentasi yang belum jelas tidak bisa di pakai sebagai dalil. Dan setiap dalil atau argumentasi haruslah terbebas dari kemungkinan-kemungkinan, yaitu kemungkinan yang timbul dari dalil itu sendiri.

b. Dasar Kaidah

Dasar dari kaidah ini adalah sama dengan dalil kaidah di atas (surat al Hujarot: 11), karena masih dalam satu rumpun pembahasan. Serta kaidah pokok yang berbinyi:

الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ

b. Analisis Kaidah

Apabila ada orang tua yang menderita sakit parah menyerahkah semua hartanya kepada salah satu ahli waris, maka traksaksinya tidak sah kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Hal ini karena dimungkinkan adanya kesengajaan bagi orang tua tersebut untuk memberikan warisanya hanya kepada satu orang saja (hirmanu al warist ila ghoirihi) hal ini tidak di benarkan dalam islam..

Apabila ada salah satu ahli waris yang mengaku memiliki harta yang di hutang orang tuanya yang meningal dan ia tidak mempunyai bukti, maka hal ini tidak dibenarkan, karena ada kemungkinan ia hanya ingin mendapat bagian lebih banyak.[22]

4. Kaidah (دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه) “petunjuk atas hal-hal yang samar adalah sebagaimana adanya”

a. Uraian Kaidah

Maksud dari kaidah ini adalah ketetapan atau keputusan atas suatu yang masih samar disesuaikan dengan argumentasi dilapangan, dan segala hal yang sulit untuk dilihat atau masih samar disebut perkara yang batin. Yang dikkehendaki dengan dalil disini adalah petunjuk.

Kaidah ini menjadi motivasi bagi seseorang untuk berlaku adil dan menjadikan setiap tindakan yang dilakukan harus berdasarkan hal-hal yang rasional

b. Dalil Kaidah

dalil daripada kaidah ini adalah adalah dalil akal, yaitu segala pengetahuan yang di peroleh dari hasil pengamatan empiris tidak akan jauh beda dengan kenyataan yang ada. Sebagaimana firman Alloh yang berbunyi;

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَار

ambilah I’tibar wahai orang-orang yang mempunyai akal sempurna” ( al hasyr: 2)

kita diperintah untuk selalu I’tibar dari apa yang telah kita fahami dan ketahui, sehingga kita bisa melakukan hipotesa terhadap petunjuk-petunjuk yang terjadi untuk mengambil keputusan.

c. Analisis kaidah

dari pemahaman kaidah di atas kita bisa menconhtohkan sebuah kasus, apabila si A membeli HP pada si B, dan si B menunjukan adanya kekurangan pada HPnya, tapi kemudian si A tetap membelinya (dalil al-batin), maka berpijak dari kaidah ini berarti si A sejutu dengan segala kekurangan yang ada pada HP tersebut walaupun tanpa ucapan yang jelas, dan akad ini di hukumi sah.

Apabila ada seorang karyawan yang tidak konsisten dengan jam kerjanya serta ada indikasi ia tidak membawa kemajuan terhadap perusahaan, bahkan ia terkesan membawa pengaruh buruk terhadap karyawan yang lain. Maka sang majikan boleh memecatnya secara tidak hormat. Karena melihat indikasi-indikasi di atas menunjukan bahwa ia telah menghianati segala amanat yang telah diberikan kepadanya dan kepada sang juragan

Apabila ada seseorang yang membunuh pencuri di rumahnya dikarenakan ia membela diri dari pencuri tersebut yang akan membunuhnya. Berdasarkan kaidah di atas pemilik rumah dibenarkan apabila pencuri tersebut terbukti membawa senjata yang mematikan, namun apabila terbukti bahwa pencuri tersebut tidak membawa apa-apa maka ia terkena hukuman pembunuhan[23]

d. pengecualian kaidah

dikecualikan dari kaidah ini adalah apabila ada seorang wanita yang memasukan putting susunya kemulut bayi yang masih menyusui, dan tidak diketahui apakah ada air susu yang masuk ditelan bayi atau tidak, maka hukumnya adalah bayi tersebut tidak bisa dihukumi muhrim.[24]

BAB III SIMPULAN

Dari sedikit makalah yang saya sampaikan di atas, kiranya dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwasanya:

Kaidah fiqh adalah metode pengambilan hukum yang menekanan adanya prinsip keadilan dan kemaslahatan bagi umat. Akan tetapi kaidah-kaidah tersebut ibarat pisau analisis yang bermata dua, apabila jatuh ditangan yang tidak kreatif dan tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, akan menjadi sesuatu yang kering akan inovasi, atau bahkan menjadi jastifikasi dari pendapat-pendapatnya yang sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan fungsi dari kaidah-kaidah tersebut diperlukan seseorang yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas keilmuan yang dibarengi dengan kemampuan dalam memotret dan menganalisis permasalahan-permasalahan sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain Seorang mujtahid haruslah memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

WAllohu a’lam bi as-showaab…………………

___________________

DAFTAR PUSTAKA`

As-Suyuti Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar, ,al-Asybah wa an-Nadzair, alhidayah surabaya tt

az-zarqo Ahmad bin shaikh muhammad. Sarkh a lqowaid al fiqhiyah. Dar al qolam damaskus. tt. Cet 3

al ahdhory Abdurahman. Taqrirat Nadhom sulam al munawwaroq. MHM lirboyo Kediri .

al ‘ubady.Abdullah bin said Idhohu alqowaid al fiqhiyah. Al hidayah surabaya 1410 .H cet 3

al-Hajjaj bin Abdulloh muslim. shohih muslim. Hadist no: 568 Dar al fikr bairut 1989 cet 4

Abdul Hamid Hakim. As-sulam. Sa’adiyah putra Jakarta. tt.



[1] Mahasiswa semester V Fak- tarbiyah STAI Ma’had Aly AL HIKAM Malang

[2] Jalaludin as-syuyuty. Asbah wa nadhoir , mauqi’ul al Islam. Kairo. juz 1 hal 90

[3] M.sidqy ,Alwajiz fi idhohi qowaid al-Fiqh al-kulliyah. Almuassas ar-risalah 1983 Kairo. Hal 92

[4] ibid

[5] Syaikh Ahmad ibn M zarqo. Sarh al-Qowaid al-Fiqhiyah. Daar qolam.tt. hal 105

[6] M. Bin Idris as-Syafi’i. Musnad as-Syafi’i.mauqi jami’ al hadist juz 2 hal 307

[7] Drs. M. Adib bisry terj. Faroid al-bahiyah. Menara kudus. Tt hal 12

[8] Ashab adalah kata majemuk yang berarti tumgal, yaitu ulama yang mengikuti imam mujtahud. Lihat: purna alyah MHM lirboyo, mengenal rumus dan istilah fuqoha. Darul hukmah. 1997.Jombang hal 5

[9] M. bin jariir. Tafsir at-tobary. Muassas ar-risalah 2000. Kairo hal

[10] Drs. M. Adib bisry. Log.cit.

[11] Jalaluddin As-Syuyuty op.cit juz 1 hal 99

[12] Ibid.

[13] Drs. M. Adib bisry.op.cit.hal 15

[14] Mahasiswa semester V STAI Ma’had Aly AL HIKAM Malang

[15] Abdul hamid hakim. As-sulam. Sa’adiyah putra Jakarta. tt. Hal: 67

[16] Abdurahman al ahdhory. Taqrirat Nadhom sulam al munawwaroq. MHM lirboyo Kediri .tt. Hal 30

[17] Abdullah bin said al ‘ubady. Idhohu alqowaid al- fiqhiyah. Al hidayah surabaya 1410 .H cet 3 Hal 69

[18] Abdulloh muslim bin hajjaj . shohih muslim.Hadist no: 568 Dar al fikr bairut 1989 cet 4 hal 337

[20] al-Imam Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar As-Suyuti, ,al-Asybah wa an-Nadzair, alhidayah surabaya tt,, hal. 204

[21] Ahmad bin shaikh muhammad zorqo. Sarkh alqowaid al fiqhiyah. Dar al qolam damaskus. tt. Cet 3 Hal 152

[22]ibid Hal 362

[23] Ahmad bin shaikh muhammad zorqo. Log.cit. hal 346

[24] Ibid hal 347